PKS Tidak Mengenal Mahar Politik

DepokNews–Pernyataan Andi Arief, Wakil Sekjen Partai Demokrat, tentang mahar politik yang diberikan kepada PKS (Partai Keadilan Sejahtera) dan PAN dalam rangka penetapan calon presiden Prabowo Subianto yang berpasangan dengan calon wakil presiden Sandiaga Shalahuddin Uno menimbulkan kontraversi berkepanjangan. Tudingan itu disebarkan melalui akun twitter @AndiArief pada Rabu malam (8/8/2018) menjelang deklarasi pasangan Prabowo-Sandi.

Sumbernya dari cerita petinggi Demokrat (Hinca Panjaitan, Syarif Hasan dan Amir Syamsudin) yang bertemu dengan petinggi Partai Gerindra (Fadli Zon, Sufmi Dasco, Prasetyo dan Fuad Bawazier). Pertemuan elite itu tidak dihadiri PKS dan PAN. Lalu, mengapa Andi ngamuk sembarangan menuduh PKS dan PAN telah menerima dana ‘penaklukan’ masing-masing Rp 500 miliar? Dana itu katanya untuk memperlancar rencana pasangan Prabowo-AHY (Agus Harimurti Yudhoyono). Bahkan, Andi juga sempat menyinggung kemungkinan tampil pasangan Sandi-AHY akan ‘mengkudeta’ Prabowo.

Pengamat politik dari Center for Indonesian Reform(CIR), Sapto Waluyo, melihat keanehan tudingan mantan Ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang beraliran kiri itu. “Cerita itu, kalau benar, bertujuan untuk menyukseskan AHY tampil sebagai cawapres dari Demokrat. Entah berpasangan dengan Prabowo atau Sandi. Lalu mengapa Andi menuding PKS dan PAN seolah menerima mahar agar mengalah dari tuntutan politiknya? Mengapa Andi percaya dari kabar angin satu pihak saja? Mahar itu artinya suap untuk memperoleh jabatan politik dan selama ini publik menyaksikan PKS tidak mengenal mahar politik,” ujar Sapto, Direktur CIR.

Sandiaga yang dituding menebar mahar telah membantah tuduhan tidak berdasar itu. Bahkan, Sandi menantang Andi untuk membuktikannya di depan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jika ada pelanggaran yang terjadi. DPP PKS tidak tinggal diam, mereka telah melaporkan Andi ke kepolisian karena diduga menyebarkan berita palsu dan mencemarkan nama institusi. Apalagi, Badan Pengawas Pemilu telah mencari informasi berkaitan dengan isu kontraversi jelang pilpres itu.

Andi bersikeras dengan cerita miring tanpa bukti, bahkan berkata bahwa dia diperintah pimpinan Partai Demokrat untuk bersuara keras. Dari petinggi PD belum terdengar klarifikasi, sehingga isu tersebut bisa mengganggu harmoni dalam koalisi kubu oposisi.

PKS telah berkoalisi dengan Gerindra sejak lama. Dalam pilkada DKI Jakarta 2017 dan pilkada Jabar 2018, tak ada isu mahar politik. “Publik tidak pernah mendengar Gerindra menyetor dana untuk menggolkan Anies Baswedan berpasangan dengan Sandi, dan Sudrajat berpasangan dengan Ahmad Syaikhu. Lalu, mengapa sekarang Andi dan Demokrat yang baru bergabung koalisi nekadbersuara negatif?” Sapto bertanya tentang motif di balik tudingan itu yang dapat mendegradasi pasangan Prabowo-Sandi.

Publik selama ini mengetahui PKS mandiri dalam pengelolaan dana partai berasal dari iuran anggota dan donasi simpatisannya. Peneliti dari ICW dan CSIS telah mengakui kredibilitas PKS dalam mengelola dana partai. Dalam kasus pilkada Jawa Barat, misalnya, komponen biaya utama yaitu dana operasional saksi di TPS ditanggung PKS, karena biaya kampanye Sudrajat-Syaikhu sangat terbatas. Dalam perundingan dengan Gerindra, PKS juga siap menanggung sebagian biaya kampanye, bila kadernya dipercaya menjadi Cawapres.

Bila diasumsikan dana operasional saksi standar Rp 200.000/orang/TPS, sementara tiap TPS dikawal minimal 2 saksi dan jumlah TPS seluruh Indonesia pada pemilu 2019 diperkirakan 800.000, maka biaya saksi total Rp 320 miliar. Itu belum terhitung dana kampanye door to door yang biasa dilakukan kader PKS dengan sumberdaya mandiri dan dikalkulasi sekitar Rp 7,2 triliun.

“Isu dana Rp 500 miliar itu sebenarnya recehan dibanding biaya kampanye pemilu yang dikeluarkan partai. Apalagi, dilontarkan dalam konteks yang keliru. SBY selaku Ketua Dewan Pembina PD harus menegur Andi atas ocehan kosong tanpa bukti,” simpul Sapto.