Pokja Wartawan Depok Gandeng Psikolog Bedah Perilaku Anak Saat PJJ

DepokNewd- Pandemi COVID-19 yang terjadi sejak sekira sembilan bulan lalu telah berdampak serius pada berbagai sektor, salah satunya adalah dalam hal pendidikan. Imbas negatifnya, kondisi itu berpengaruh juga pada psikologis seseorang.    

Menurut hasil kajian dari berbagai sumber, salah satu pemicunya adalah metode pembelajaran jarak jauh atau PJJ, melalui media internet. Selain karena beban tugas yang menumpuk, tingkat stres semakin bertambah karena biaya operasional yang membengkak.

Umumnya, kondisi itu dialami para orangtua, yang akhir-akhir ini memiliki peran tambahan sebagai guru dadakan. Namun ternyata, kondisi psikis terkait hal itu juga dapat terjadi pada anak-anak atau remaja. Bahkan, mereka yang masih berusia balita berstatus pelajar Taman Kanak-kanak (TK) atau PAUD.

Pengamat psikolog dari Universitas Pancasila (UP), Putri Langka menuturkan, gejala stres pada anak usia dini paling mudah terlihat dari perilakunya.

“Biasanya banyak ngambek, marah, tapi marahnya anak kecil,” katanya saat menjadi pembicara dalam forum diskusi Kelompok Kerja (Pokja) Wartawan Depok bersama Pjs Wali Kota Depok, Dedi Supandi pada Senin (30/11).

Sedangkan gejala stres pada usia remaja agak sedikit berbeda.

“Kalau remaja sering uring-uringan, sensi banget, orangtua ngomong apa interpretasi apa ini kerap terjadi pada usia SD. Nah biasanya kalau usia remaja tingkat SMP dan SMA dia rebel, bales-balesan sama orangtuanya,” tutur Putri

Untuk mensiasati hal tersebut, Putri menyarankan para orangtua untuk bisa menahan emosi.

“Pada saat anak-anak eskalasi kemarahan murungnya sudah tinggi, berarti anak-anak sudah stres. Orangtua harua turun juga tensinya, kalau enggak nanti enggak karuan karena semua saling teriak.”

Kunci dari persoalan ini, menurut Putri adalah menekan tuntutan dalam diri sendiri.

“Kita jangan terlalu berat menuntut diri sendiri karena saya yakin orangtua juga banyak kegiatannya. Enggak semua orangtua beruntung bisa mendampingi anaknya di rumah karena harus bekerja,” ucapnya

Lebih lanjut koordinator bidang humas Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Jakarta itu mengatakan, disaat-saat seperti ini harus lebih memperbanyak rasa humor.

“Jadi misalnya ditelpon sama guru, anaknya hilang dari zoom, tinggal dicari, ternyata lagi kabur kemana gitu. Intinya kita mungkin perlu punya rasa humor yang tinggi, jadi kita enggak terlalu stres juga,” jelasnya

Setelah itu, biasakan ajak buah hati untuk berdiskusi dengan mencoba memahami persoalan yang dihadapi.

“Paling kalau saya bilang ke anak saya, nanti malam kita diskusi, kok tadi siang bisa pergi dari zoom dan sebagainya.”

Putri mengatakan, idealnya orangtua harus bisa menciptakan stimulus agar anak tidak bosan belajar di rumah.

“Tapi saya yakin orangtua juga punya keterbatasan. Karena itu, kita dimasa sekarang tidak bisa menuntut terlalu keras kepada diri sendiri dan anak,” ujarnya Cara efektif lainnya untuk mengatasi persoalan tersebut, kata Putri adalah mengikuti kemauan si anak.

“Kita harus bilang apa yang sekarang penting untuk kita dan kita minta ke anak-anak dan apakah mereka bisa memenuhi itu. Kalau anak-anak yang besar tentu bisa diajak ngobrol, tapi kalau anak-anak masih usia TK mungkin cenderung harus ikuti mereka dulu.”

Prinsip utama belajar, kata Putri, harusnya menyenangkan dan ini berlaku pada semua level baik itu usia dini maupun mahasiswa.

“Kalau anak enggak mau duduk diam ketika lagi belajar di zoom, saya rasa anak TK wajar, kalau masanya dia mau lari-lari ya udah gedein saja volumenya, asal dia dengar suara gurunya.”

Dengan demikian, lanjut Putri, disitu anak akan belajar memfungsikan semua panca indranya. “Visual, auditori, kinestetik, yang penting stimulusnya jalan terus. Enggak apa-apa kita juga enggak bisa maksa anak TK duduk terus-terusan, biar aja yang penting dia bisa dengerin gurunya. Itu dulu,” jelasnya

Point bagusnya, saat ada tugas mau ngerjain. “Artinya kan dia tertarik tapi engga betah. Anak punya gaya belajar tertentu dan tidak usah kita paksain.” tandasnya.(Mia)