Konsep Kebebasan Penumbuh Subur Kekerasan Terhadap Perempuan

Oleh: dr. Alik Munfaidah, Anggota HELP-S *) tinggal di Beji, Depok

Isu kesetaraan gender (KG) ternyata tidak begitu saja tenggelam ditengah hiruk pikuk pandemic global. Melalui akun twitternya pada 21 Maret 2020 lalu, António Guterres, Sekretaris Jenderal PBB mengeluarkan pernyataan bahwa pandemi Covid-19 telah menimbulkan ketidaksetaraan gender. Beberapa isu terkait gender yang semakin marak di berbagai belahan dunia seolah membenarkan cuitannya, salah satunya peningkatan kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) di tengah Pandemi global.

Di Perancis kasus KDRT dilaporkan meningkat sepertiga kasus hanya dalam sepekan. Sementara di Afrika Selatan, terdapat hampir 90.000 kasus kekrasan terhadap perempuan telah terjadi hanya dalam rentang sepekan pertama pemberlakuan lockdown. Peningkatan angka KDRT juga terjadi di Australia, hal ini diindikasikan dengan pencarian daring untuk dukungan KDRT yang meningkat 75%. Di Turki, para aktivis menuntut perlindungan lebih besar setelah pembunuhan perempuan naik tajam pasca diberlakukan stay at home pada 11 Maret. (Beritasatu.com, 6/4/2020)

Negara besarpun tak luput dari pemberitaan seputar KDRT. Di Cina, lembaga non-profit anti-KDRT, Wan Fei, melaporkan lonjakan signifikan kasus KDRT, 90% penyebabnya terkait Covid-19. Di Amerika, pekan lalu, sebuah hotline KDRT mencatat terjadinya peningkatan panggilan dua kali lipat lebih banyak dibandingkan sebelumnya. Di Inggris, anggota Parlemen Britania Raya, Dawn Butler, meminta pemerintah mengalokasikan dana darurat untuk membantu orang yang melarikan diri dari KDRT selama krisis. Banyak wanita dibunuh setiap pekan oleh pasangan atau mantan pasangannya. (republika.co.id, 22/3/2020)

Di tanah air, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (Apik) memberikan data nasional bahwa sejak 16 Maret hingga 30 Maret 2020 terdapat 59 kasus kekerasan, perkosaan, pelecehan seksual, dan online pornografi. Jumlahnya meningkat tiga kali lipat dibandingkan sebelum diberlakukannya PSBB. (tirto.id, 15/4/2020)
Kondisi inilah yang mungkin mendorong Deputi Direktur Eksekutif UN Women, Åsa Regnér membuat 10 check list yang ia sodorkan bagi para pembuat kebijakan, dengan harapan isu perempuan tetap menjadi fokus perhatian dalam mengatasi dampak Covid-19.

Kaum Feminis terus menarasikan bahwa ketidakadilan masih terus menimpa mereka, dan para perempuan adalah korban kebijakan yang dibuat oleh para laki-laki. Baik sebelum maupun saat pandemic seperti sekarang ini, mereka tetap lantang menyuarakan KG agar segera diwujudkan. Simon De Beauvoir menulis dalam buku berjudul The Slavery of Childbearing, “Melahirkan anak itu membatasi kebebasan perempuan, dia sebenarnya adalah perbudakan yang harus diperangi, dan inti dari penindasan perempuan adalah peran mereka untuk hamil, menyusui, dan membesarkan anak-anak”.
Penghinaan feminis terhadap peran perempuan sebagai ibu dan pengurus rumah tangga ini muncul karena berbagai alasan.
Pertama, di bawah sistem sekuler Barat, pekerjaan rumah tangga tidak dihargai dibandingkan dengan pekerjaan berbayar dan peran memenuhi kebutuhan keluarga, yang dilihat sebagai tugas yang terhormat. Oleh karena itu, posisi pencari nafkah ditempatkan di atas status menjadi istri dan ibu.
Kedua, di negara-negara Barat, perempuan secara historis terbatas pada tugas-tugas rumah tanpa peran di luar rumah. Ini digunakan sebagai alasan oleh sebagian orang untuk menolak hak-hak pendidikan, ekonomi, dan politik perempuan, karena mereka mengklaim bahwa perempuan tidak membutuhkan hak istimewa seperti itu jika tugas satu-satunya mereka adalah sebagai pengurus rumah tangga dan pengasuh anak-anak.

Oleh karena itu, perempuan yang sukses didefinisikan sebagai orang yang memiliki karier yang sukses atau setidaknya menafkahi hidupnya sendiri. Kaum feminispun menyerukan penghapusan diferensiasi gender dalam peran, dan menyerukan pembagian kerja berbayar, tugas rumah tangga, dan pengasuhan anak yang setara antara laki-laki dan perempuan di dalam kehidupan keluarga.
Banyak feminis yang mempromosikan gagasan bahwa tugas-tugas domestik perempuan dan membesarkan anak adalah menyia-nyiakan bakat mereka dan menahan perempuan dari pencapaian potensi nyata mereka di dalam masyarakat dan kehidupan publik serta membatasi wawasan mereka.

Nyatanya, feminisme dengan ide KG-nya tidak mampu memenuhi janji untuk memberikan kehidupan yang lebih adil dan lebih bahagia dengan gagal meningkatkan status mereka di masyarakat. Sebaliknya mereka membebani perempuan dengan tanggung jawab ekstra, termasuk menjadi pencari nafkah untuk keluarga mereka; merampas hak istimewa akan jaminan penyediaan finansial bagi mereka; serta menyebabkan konflik dalam pernikahan mereka.

Selain cacat, ide KG ini sejatinya merupakan ancaman terhadap pemahaman seorang muslim. Islam dituding sebagai agama yang tidak berpihak kepada perempuan karena sebagian aturan-aturannya dianggap terlalu maskulin dan mengekang kebebasan kaum perempuan, menempatkan perempuan pada posisi nomor dua. Akhirnya aturan Islam dianggap tidak relevan dengan kondisi saat ini, karena bertentangan dengan konsep kesetaraan seperti yang berkaitan dengan waris, poligami, kepemimpinan laki-laki dalam keluarga, nafkah, pakaian muslimah, terlebih kepemimpinan laki-laki dalam negara yang memang diharamkan bagi perempuan.

Untuk itu mereka menuntut dilakukannya upaya reinterpretasi atau bahkan rekonstruksi nash-nash fikih perempuan, agar bisa memberi rasa keadilan gender. Semangat ini telah mendorong para feminis untuk melakukan penafsiran ulang terhadap ayat-ayat tertentu dari al-Quran.

Pemberlakuan konsep KG di negara-negara mayoritas Muslim dan komunitas Muslim di seluruh dunia hanyalah cara lain yang digunakan oleh negara-negara kapitalis kolonial di dalam perjuangan ideologis mereka melawan Islam. Kepentingan kapitalis yang sangat bertentangan dengan prinsip Islam akhirnya disamarkan dengan konflik-konflik berbasis gender.

Sejatinya, setiap kekerasan terhadap perempuan terus terjadi karena menganggap manusia memilki kebebasan perilaku. Kebebasan perilaku inilah salah satu nilai yang dijamin oleh kapitalisme. Akibatnya tindak kekerasan terus terjadi, meski sudah ada berbagai aturan bahkan konvensi internasional seperti CEDAW dan lain-lainnya. Tidak adanya keyakinan akan pertanggungjawaban di hari akhir membuat mereka berbuat sekehendak hatinya. Ide Hak asasi Manusia yang menjadi penjaga kapitalisme, menambah subur tindak kekerasan terhadap perempuan.

*)HELP-S (Healthcare Professional for Sharia) merupakan komunitas yang menghimpun tenaga kesehatan baik dalam dan luar negeri yang bervisi-misi mendukung penerapan syariah.

Published
Categorized as Ragam