Via Video Conference DPRD Depok Gelar Paripurna LKPJ 2019

DepokNews- Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Depok, Rabu (6/5/2020) menggelar Rapat Paripurna, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ), Wali Kota Depok Tahun 2019. Rapat Paripurna ini digelar melalui Video Conference (Vicon) di ruang paripurna DPRD Depok.

“LKPJ juga memuat realisasi indikator kinerja sasaran dari setiap misi kota yang terdiri dari 31 indikator, serta indikator daerah lainnya, yang berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Tahun 2006-2025,” tutur Wali Kota Depok Mohammad Idris dalam sambutannya.

Berdasarkan data BPS tahun 2019, Kota Depok memiliki penduduk sebesar 2.406.826 jiwa, dimana jumlah laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan dengan laju pertumbuhan pada tahun 2019 sebesar 3,28 persen.

Kepadatan penduduk di Kota Depok tahun 2019 sebesar 12.017 jiwa per kilometer persegi meningkat 382 jiwa per kilometer dibandingkan tahun sebelumnya.

“Menurut data Indikator Kesejahteraan Rakyat Kota Depok tahun 2019 usia produktif yakni di rentang 15 sampai 64 tahun mencapai 1.720.256 jiwa, usia 0-14 tahun mencapai 595.759 jiwa dan usia 65 tahun keatas mencapai 90.811 jiwa,” katanya.

Dengan demikian, angka ketergantungan/beban tanggungan Kota Depok tahun 2019 mencapai 39,91 persen. Angka tersebut bermakna bahwa 100 orang kelompok usia produktif menanggung beban sebanyak 40 orang kelompok non produktif,” papar Idris.

Idris juga menyebut, berdasarkan struktur ekonomi, yang ditunjukkan oleh angka PDRB (atas dasar harga konstan) bahwa PDRB Kota Depok Tahun 2019 Rp 49,07 triliun atau mengalami peningkatan sebesar 6,73 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Hal ini memperlihatkan perkembangan ekonomi Kota Depok terus meningkat setiap tahunnya. Struktur perekonomian Kota Depok pada Tahun 2019 ditinjau dari sektor ekonomi disumbang oleh sektor usaha tersier sebesar 49,00 persen yang mengalami kenaikan 0,86 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Kenaikan sektor tersiar ini disumbang oleh kenaikan lapangan usaha Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor, Transportasi dan Pergudangan, yang merupakan kenaikan paling besar selama lima tahun terakhir.

“Lapangan usaha sektor tersier lainnya yang mengalami kenaikan adalah Jasa Informasi dan Komunikasi, Jasa Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib,” ujarnya.

Ia menjelaskan, LPE Kota Depok turun dari 6,85 persen di tahun 2018 menjadi 6,74 persen di tahun 2019, dimana laju pertumbuhan ekonomi Kota Depok berada di atas rata-rata nasional dan Jawa Barat. Hal ini menunjukkan, pertumbuhan ekonomi Kota Depok relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota yang ada di Jawa Barat maupun nasional.

“Berdasarkan tingkat pendidikan, Kota Depok termasuk daerah dengan tingkat pendidikan rata-rata cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari proporsi penduduk usia 15 tahun ke atas yang tamat Diploma/Universitas sebesar 25,78 persen, tamat SLTA dan sederajat sebesar 45,61 persen. Hal tersebut juga memperlihatkan bahwa sumber daya manusia Kota Depok semakin potensial dengan tingkat pendidikan atau rata-rata lama sekolahnya menjadi lebih baik,” terangya.

Dirinya menerangkan, untuk pendapatan daerah sendiri realisasi pendapatan pada tahun 2019 sebesar Rp 3.236.277.806.392,00 atau 103,69 persen dari target yang direncanakan sebesar Rp. 3.121.095.250.056,00. Realisasi Pendapatan Asli Daerah pada Tahun Anggaran 2019 sebesar Rp 1.293.003.769.037,00 mencapai 113,57 persen dari target yang ditetapkan, yaitu sebesar Rp.1.138.499.654.711,00 sah dengan rincian Realisasi Pajak Daerah sebesar Rp.1.018.687.961.624,00. Seluruh pos Pajak Daerah mampu melampaui target yang ditetapkan.

“Jenis pajak yang paling tinggi persentase capaiannya adalah Pajak Air Tanah yang mencapai 227,62 persen dan Pajak Hiburan sebesar 147,34 persen. Retribusi Daerah tidak melampaui dari target yang telah ditetapkan, dengan tingkat pencapaian sebesar 98,09 persen atau sebesar Rp 40.517.187.882. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan terealisasi sebesar Rp. 21.701.132.428,00 atau 161,30 persen. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah terealisasi Rp. 212.097.487.103,00 atau 122,90 persen,” katanya.

Ia menerangkan, Realisasi penerimaan Dana Perimbangan tahun 2019 secara umum sebesar Rp. 1.227.549.178.965,00 atau 97,00 persen dari target penerimaan Dana Perimbangan.

Dari realisasi tersebut, pos Dana Alokasi Umum (DAU) mencapai realisasi sebesar Rp. 950.369.136.000,00 atau 100 persen. Dari target Dana Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak berhasil mencapai realisasi sebesar Rp. 83.493.307.510,00 atau 72,07 persen dari target. Adapun untuk Dana Alokasi Khusus (DAK), dengan target sebesar Rp. 199.275.642.447,00 mencapai realisasi sebesar Rp. 193.686.735.455,00 atau sebesar 97,20 persen.

“Realisasi pendapatan yang berasal dari Lain-lain Pendapatan yang Sah sebesar Rp. 715.724.858.390,00 atau 99,81 persen dari target,” bebernya.

Termasuk dalam jenis pendapatan ini adalah bagi hasil pajak daerah dari provinsi dan pemerintah daerah lainnya, dana penyesuaian dan otonomi daerah serta bantuan keuangan dari Provinsi Jawa Barat dan Provinsi DKI Jakarta.

Adapun realisasi bagi hasil pajak dari provinsi adalah sebesar Rp. 521.083.965.142,00 atau 101,57 persen dari target. Dana Penyesuaian terealisasi sebesar Rp. 10.232.668.000,00 atau 50 persen dari target,” ujarnya.

Ia menyebut, Realisasi belanja tahun 2019 sebesar Rp 3.231.217.901.079,00 atau sebesar 85,33 persen dari rencana belanja daerah sebesar Rp. 3.786.740.736.807,55.

Tidak terealisasinya Belanja Daerah ini terjadi baik pada kelompok Belanja Tidak Langsung (81,37 persen), maupun pada kelompok Belanja Langsung (87,76 persen).

“Realisasi Belanja Tidak Langsung mencapai 81,37 persen dari rencana Belanja sebesar Rp.1.171.556.296.160,00. Komposisi Belanja Tidak Langsung masih didominasi untuk keperluan belanja pegawai sebesar 88,44 persen. Adapun untuk belanja hibah dan bantuan sosial masing-masing sebesar 82,65 persen dan 73,94 persen dari total Belanja Tidak Langsung,” terang Idris.

“Realisasi Belanja Langsung Tahun Anggaran 2019 mencapai 87,76 persen, hal ini terkait keterbatasan waktu akibat adanya perubahan peraturan tentang pengadaan barang dan jasa, adanya kegagalan dalam proses pelelangan, dan efisiensi penyerapan anggaran belanja langsung,” pungkasnya.(mia)