Citayam Fashion Week dan Perlawanan terhadap Narasi Besar

Oleh: Sapto Waluyo
(Pendiri Center for Indonesian Reform, CIR)

Jagad media sosial dikejutkan fenomena baru: Citayam Fashion Week (CFW). Semacam parodi yang mengingatkan kita pada Paris Fashion Week (PFW) atau New York Fashion Week (NYFW) dan Dubai Fashion Week (DFW). Tetapi, dengan makna berbeda dan berseberangan. PFW dan sejenisnya merupakan simbol modernisme yang memukau dan menyeret jutaan manusia untuk mengikuti selera tunggal serta universal. Seolah-olah itulah puncak peradaban manusia, takdir sejarah yang tidak bisa dihindari oleh bangsa-bangsa di dunia.

Gaya berpakaian super model Naomi Campbell, Bella Hadid, selebritis Kim Kadarshian, atau penyanyi Jisoo dan Rose dari BlackPink (K-Pop) akan mewarnai tampilan warga dunia pada musim semi dan panas. Berbagai merek top global: Louis Vitton, Versace, Dior, Balenciaga atau Coco Chanel secapat kilat menyerbu pasar hingga pelosok kampung. Kalender tahunan itu bergulir sejak dari Milan, Paris, London, Stockholm, Alta Roma, Dubai dan kota-kota besar di dunia (termasuk Jakarta).

Berbeda dengan CFW yang digagas komunitas nongkrong SCBD (Sawangan, Citayam, Bojong Gede dan Depok). Tanpa kehadiran model top dunia, tetapi menampilkan remaja kampung bertampang kinyis-kinyis yang mendadak viral: Bonge, Jeje Slebew, Kurma dan Roy Citayam. Pagelaran fesyen amatiran itu berlangsung spontan atas inisiatif Abdul Sofi Allail (19 tahun) dan kawannya Adit yang mengubah arena penyebarangan (zebra cross) sebagai runway catwalk.

Mulanya CFW dicibir dan diremehkan karena adu outfit itu tak punya kurator dan komentator andal. Namun, setelah akun Tokyo Fashion mencuit fenomena di kawasan stasiun Dukuh Atas itu sebagai trend baru, semacam Harajuku di Jepang, maka semua persepsi berubah dalam hitungan menit. Sejumlah desainer dan model popular yang pernah melenggok di runway global pun berdatangan: menembus kerumunan dan menyusuri zebra cross.

Tak hanya selebritis yang penasaran dengan fenomena CFW, sampai Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengajak Duta Besar Uni Eropa dan para bankir mancanegara untuk bergaya di lokasi viral dan recehan itu, usai melakukan rapat di kantor MRT. Pose mereka mengingatkan kita pada group band The Beatles (1969) yang sedang menyeberang jalan di Abbey Road, London.

Eksistensi CFW pantas dicatat, setelah sebelumnya kita menyaksikan sejumlah artis, selebritis dan pengusaha Indonesia bikin geger dengan klaim telah berpartisipasi dalam Paris Fashion Show (PFS). PFS ini berbeda dengan PFW, walaupun waktu dan lokasi berdekatan. PFW merupakan salah satu ajang fesyen paling top sedunia, sementara PFS adalah ajang sampingan yang mendompleng ketenaran PFW. Banyak peserta rela mengeluarkan dana besar untuk membeli gengsi dan berpartisipasi di event wisata yang turut didukung oleh Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (binaan Kemenparekraf). Tak hanya produk fesyen, brand kosmetika dan ayam geprek ikut terlibat. Hal itu menunjukkan betapa merasuknya narasi tentang modernisme yang glamour dan mahal. Tak semua orang bisa bisa menjangkaunya.

Salah seorang pengkritik keras modernisme adalah Jean Francois Lyotard (1924-1998), yang menolak Grand Narrative (narasi besar) sebagai legitimasi untuk menyatukan, universal, dan total. Padahal, faktanya perkembangan pengetahuan bergeser dari teori besar (grand theory) menuju teori yang spesifik, dari sessuatu yang universal menuju ke sesuatu yang bersifat lokal, dari kebenaran yang tunggal menuju ke kebenaran yang beragam. Lyotard merindukan masyarakat pramodern yang sangat menekankan nilai penting mini atau mikro narasi, berupa mitos, fenomena gaib, kebijaksanaan rakyat, atau kearifan lokal. Narasi besar biasanya berpangkal dari pemodal besar atau penguasa, mereka yang memegang otoritas dan mendominasi pasar, sementara narasi kecil diasosiasikan dengan kreativitas lokal.

Pada 1954, Lyotard menerbitkan buku pertama berjudul La Phenomenologi yang merupakan pengantar dalam memahami fenomenologi Husserl. Dua belas tahun kemudian, 1966, ia resmi menyatakan keluar dari Marxis, pandangan yang dominan saat itu di Perancis dan Eropa. Lyotard kecewa dengan kegagalan gerakan Marxis untuk membangun masyarakat sosialis yang adil (sebuah narasi besar) sebagaimana digembar-gemborkan. Sebaliknya, di berbagai kawasan dunia, Marxisme berusaha menciptakan masyarakat yang homogen dan hanya dapat diwujudkan dengan cara kekerasan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia.

Produk fesyen global telah menjual dan memaksakan gaya hidup modern sebagai komoditas utama. Citra kecantikan dan keindahan diidentikkan dengan kemewahan dan merek terkenal. Sedangkan kesederhanaan dan kebersahajaan dipandang sebagai ketinggalan zaman. Status sosial dan martabat individu diukur dengan kepemilikan barang-barang bermerek (branded items) dan kesesuaian dengan gaya nyentrik, mulai dari rambut kepala hingga tumit kaki. Semua dirawat dengan biaya khusus dan penuh teror melalui iklan media yang sangat massif, termasuk tampilan publik figur-figur popular. Bila penghasilan tidak memadai untuk membiayai gaya hidup mewah, maka disediakan fasilitas pinjaman uang dengan cara sangat mudah. Pengendalian gaya hidup menjadi sarana dominasi finansial dan ekonomi.

Buku Lyotard yang menjadi dasar kritiknya terhadap modernisme adalah The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1979). Kritik itu masih relevan hingga sekarang, ketika generasi millennial dan Gen Z lahir. Posisi pengetahuan di era teknologi internet tak lepas dari legitimasi metanarasi, seperti kebebasan, kemajuan, emansipasi kaum tertindas dan persamaan kedudukan. Narasi-narasi besar itu mengalami nasib yang sama dengan narasi-narasi sebelumnya seperti nasionalisme dan eksistensi negara-bangsa, demokrasi dan kesejahteraan, keunggulan Barat dan ras manusia.

Berdasar kerangka berpikir Lyotard, kita mengaktifkan ilmu pengetahuan dengan menghidupkan perbedaan, mengambil keputusan-keputusan independen, dan keterbukaan pada tafsiran-tafsiran baru. Lyotard tidak percaya bahwa ilmu pengetahuan dapat diwadahi oleh suatu badan pemersatu yang berupa sistem stabil. Menurutnya, ilmu pengetahuan tumbuh sebagai sistem organik, dalam arti tidak homogen apalagi tertutup pada eksperimentasi dan permainan berbagai kemungkinan wacana. Tatkala Menparekraf Sandiaga Uno menawarkan beasiswa kepada aktivis SCBD, spontan Roy Citayam menolaknya dan memilih jalan sebagai content creator. Mungkin strategi komunikasi Mas Menteri terlalu liniear atau sosok Roy memang naif, namun tak ada seorang pun yang bisa melarang untuk mengajukan inisiatif atau menolaknya mentah-mentah.

Masing-masing pihak bebas menentukan sikapnya, termasuk Menko PMK Muhadjir Effendy yang menilai fenomena CFW bersifat sementara: jika warga sudah bosan, maka akan bubar sendiri. Sayang sekali, CFW dan SCBD tidak dipandang sebagai kesempatan untuk mengembangkan subkultur baru yang inovatif dan positif bagi kalangan muda, terutama mereka yang termarjinalisasi di sekitar megapolitan Jakarta. Orientasi pejabat pemerintah yang mengurus masalah pembangunan sumberdaya manusia dan kebudayaan mewakili arus utama modernisme yang serba-tertib dan terukur.

Istilah postmodernist, pertama kali dilontarkan Arnold Toynbee pada tahun 1939 lewat buku masterpiece berjudul Study of History. Modernisme dan juga posmodernisme hanya penggalan sejarah manusia yang bisa berubah posisi, tergantung dari perspektif pembacaannya. Lyotard yang lahir pada 1924 di kota kecil Versailes, sebelah selatan kota Paris, kemudian menghadapi goncangan budayay tatkala bertugas mengajar di sekolah menegah di kota Konstantine, Aljazair Timur pada tahun 1950 – 1952. Ia menyaksikan sendiri kegagalan peradaban (modernisme) Barat yang berujung pada kolonialisme dan imperialisme. Karir Lyotard dilanjutkan dengan menjadi profesor filsafat di Universitas Paris VII.

Kaum muda Citayam, Bojong Gede dan Depok memang hanya iseng membentuk subkultur baru di pusat megapolitan Jakarta. Bahkan, sebutan SCBD dan CFW bermula dari kalangan netizen sebagai bahan ejekan. Tak tampak idealisme, apalagi ideologi, yang mendasarinya. Namun, itu bukan berarti kaum muda sekarang (Gen Z) sama sekali kosong dari idealisme. Beberapa tahun lalu kita menyaksikan anak-anak STM yang mendukung gerakan mahasiswa untuk melakukan perubahan dan menolak oligarki. Mereka terbukti militan dan kompak, bahkan ada kelompok muda yang lebih jauh terlibat dalam gerakan anarko.

Sikap Gubernur Anies Baswedan yang menyambut kehadiran kaum muda di ruang terbuka bersama patut diapresiasi, dengan harapan mereka menjaga kebersihan dan ketertiban umum. Jangan sampai mereka terjerumus pada bahaya miras, narkoba atau pergaulan bebas: residu dari modernisme yang mereka tentang sendiri. Sekarang, tergantung komunitas SCBD dan pengunjung CFW: apa yang akan dilakukan untuk membangun masa depan? Apakah siap membangun subkultur baru yang unik dan independen, atau hanya numpang ngetop sementara, sambal menunggu kesempatan untuk bergabung dengan kultur dominan? Tampilan Bonge, Kurma dan Jeje telah berubah dalam sekejap. Sementara Roy tampak lebih tegar sebagai content creator yang ingin meniti karir dan membahagiakan orangtua.

Tak kalah penting untuk mengecek aspirasi warga Dukuh Atas sendiri terhadap lingkungan di sekitarnya, termasuk warga Jakarta yang beruntung memiliki cukup banyak ruang terbuka yang aman dan nyaman: Jakarta seperti apa yang dicita-citakan? Apalagi, bila nanti sudah tidak menjadi Ibukota Republik Indonesia. Itu membutuhkan diskusi dan narasi tersendiri. []

Published
Categorized as Ragam